ALASAN GURU OGAH MENJADI KEPALA SEKOLAH
INILAH 6 ALASAN MENGAPA BANYAK GURU OGAH MENJADI KEPALA SEKOLAH
Bagi sebagian pandangan, Menjadi Kepala Sekolah (Kepsek) adalah puncak karier seorang guru. Ini dianggap sebagai promosi impian. Bisa naik posisi dan ganti jabatan yang lebih bergengsi, dan bisa menjadi orang yang disegani.
Namun, dewasa ini, kenyataan di lapangan seringkali menggelikan sekaligus miris. Ketika lowongan Kepsek dibuka, bukannya guru-guru berebut. Tapi Banyak guru, bahkan yang paling brilian sekalipun, malah memilih mundur teratur. Ketika ditawarkan, malah ogah.
Pertanyaannya, Mengapa kini kursi panas Kepsek begitu dijauhi? Tidak seperti dulu dimana orang rebutan. Bahkan (terkadang) rela merogoh kocek agar bisa mendapatkan kursi itu.
Nah, ini saya rangkum setidaknya 6 alasannya!
1️⃣ Gaji Cuma Naik Selembar Daun, Beban Naik Sekapal Kontainer
Mari bicara tentang realitas paling jujur: UANG.
Zaman sekarang orang sudah realistis. Guru-guru itu tahu, bahwa Menjadi Kepsek tidak secara otomatis membuat rekening terisi banyak. Memang ada tunjangan. Tapi Kenaikan tunjangan yang didapat tidak sebanding dengan lonjakan tanggung jawabnya.
Seorang guru PNS tetap menerima gaji pokok dan tunjangan fungsionalnya. Ketika menjadi Kepsek, kenaikannya mungkin hanya dari seupil tunjangan tambahan atau tunjangan struktural yang nilainya jauh dari kata mewah. Kenaikan gaji itu tidak akan pernah bisa membayar kerugian waktu tidur, sakit kepala akibat berhadapan dengan birokrasi, atau biaya mental lainnya.
Jika jabatan Kepsek hanya menaikkan kesejahteraan setipis tisu, sementara beban kerjanya naik setebal tumpukan Modul Ajar, maka rasionalitas guru akan berkata: “Lebih baik tenang di kelas daripada kaya tanggung di ruang kepala sekolah.”
2️⃣ Guru adalah Pedagang Eceran Ilmu, Kepsek adalah Manajer Toko Kelontong
Seorang guru sejati, jiwanya adalah tentang pedagogi—seni mengajar. Mereka menikmati interaksi dengan murid. Menikmati momen indah ketika murid paham materi yang dijelaskan. Guru adalah spesialis di ruang kelas.
Saat menjadi Kepsek, waktu habis untuk urusan birokrasi dan administrasi yang luar biasa pelik: Bendahara, negosiator komite, Event Organizer acara perpisahan, hingga "tukang damai" saat ada masalah.
Guru merasa bakat dan passion mengajar mereka terbuang sia-sia di balik meja kerja yang dikelilingi stempel dan map.
Ini adalah pergeseran fokus dari “mengajar” ke “urusan administrasi”. Banyak guru enggan menjadi administrator hebat, apabila harus mengorbankan status mereka sebagai pendidik.
3️⃣ Dari "Idola Kelas" Menjadi "Musuh Publik"
Sebagai guru, kita dicintai (atau setidaknya dihormati). Oleh murid, atau oleh rekan sejawat. Saat Menjadi Guru biasa, kita menjadi kolega yang bisa diajak gosip santai. Ngobrol ngalor-ngidul. Ketawa-ketiwi.
Namun Begitu diangkat menjadi Kepsek, status berubah menjadi Atasan. Murid terasa jauh, teman-teman jadi segan.
Lama-lama kita menjadi target kritik dari guru-guru lain yang mungkin merasa kita tidak kompeten atau terlalu otoriter dalam memimpin. Dijadikan bahan ghibah.
Setiap keputusan, mulai dari jadwal piket hingga pengadaan seragam baru, akan selalu dicurigai. Menjadi kepsek harus siap kesepian di puncak piramida sekolah.
Guru enggan menukarkan kenyamanan hubungan sosial sebagai sesama pendidik, dengan beban psikologis sebagai pemimpin yang harus selalu benar di mata bawahan.
4️⃣ Kursi Panas Kedaluarsa setelah 8 Tahun
Regulasi saat ini membatasi masa jabatan Kepsek maksimal 8 tahun atau dua periode. Ini bukan hanya masalah batasan waktu, tapi masalah motivasi jangka panjang.
Seorang guru yang cerdas akan berpikir: "Jika saya meninggalkan zona nyaman mengajar dan menanggung semua drama Kepsek ini selama 8 tahun, lalu setelah itu saya harus kembali ke kelas (menjadi guru biasa lagi), apakah usaha yang saya keluarkan sepadan?"
Adanya batasan periode menciptakan ketidakpastian karier. Kita Harus menanggung risiko politik dan beban birokrasi selama beberapa tahun, namun tidak mendapat jaminan posisi permanen.
5️⃣ Posisi Terjepit
Kepala sekolah berada di posisi apit yang menyakitkan: ditekan dari atas (Dinas Pendidikan dan kebijakan mendadak) dan dituntut dari bawah (guru, orang tua, dan murid).
Jika sekolah berprestasi, Kepsek hanya mendapat kredit secuil. Tapi jika sekolah gagal, Kepsek adalah yang pertama disalahkan.
Hal tersulit dari posisi terjepit ini adalah, mematuhi kebijakan dari atas, sembari memenuhi tuntutan dari bawah.
Beban tanggung jawab Kepsek adalah asimestris (tidak seimbang). Risiko kegagalan jauh lebih besar daripada imbalan keberhasilan. Daripada sakit kepala permanen akibat terhimpit dari segala penjuru, guru-guru memilih kembali ke kelas.
6️⃣ Dekat dengan dunia Politik
Mau tidak mau, menjadi Kepsek berarti harus sering-sering berinteraksi dengan dunia politik lokal, entah itu anggota dewan, pejabat dinas, atau bahkan tim sukses tertentu.
Sekolah, sebagai institusi publik, seringkali dijadikan arena kepentingan. Kepsek dituntut pandai bermanuver, melobi, dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak yang punya kekuasaan dan dana.
Namun Guru-guru yang idealis dan hanya ingin fokus pada pendidikan, akan merasa jijik dengan tuntutan politis seperti ini. Mereka tidak mau prinsip mereka dikotori oleh transaksi kepentingan di luar gerbang sekolah. Mereka menolak menukarkan idealismenya dengan pragmatisme politik. Mereka tidak mau sekolah menjadi kapal politik musiman, di mana Kepsek harus menjadi nakhoda yang pandai membaca arah angin politik, bukan hanya arah angin pendidikan.
———
Pada akhirnya, penolakan ini adalah sinyal bahwa sistem perlu berbenah. Menjadi Kepsek seharusnya menguatkan fungsi pendidikan, bukan meleburkan energi guru ke dalam drama birokrasi, politik, hingga ketidakpastian karier.
Guru-guru sejati tahu: lebih baik menjadi inspirasi di ruang kelas daripada menjadi administrator yang terisolasi, sakit kepala, dan dibatasi ruang geraknya.
Itulah mengapa, guru yang masih berpikir realistis dan idealis, tidak akan pernah mau menjadi Kepsek saat ini.
Komentar
Posting Komentar